Pasar (cara mama-mama jualan di Wamena)
![]() |
Pasar Misi, Mama-mama jualan & tanggapan menarik dari anggota grub |
Dulu istilah pasar mingguan ( 1 kali dam seminggu) karena keterbatasan
jarak, akses, bahan baku dan paling penting keterbatasan komunikasih. Biasanya suatu
tempat pada perbatas kedua daerah, di pusat kantor pemerintahan seperti
distrik/kecamatan. Ini konteks pasar tradisional ala-ala daerah terbelakang
dari pusat kota. Bukan ala-ala pasar kontek tradisional yang dijual belikan
perangkat kebudayaan, namun kebutuhan sehari-hari.
1. Kebutuhan pangan; (hasil bumi; “ubi-ubian,
sayuran, buh, hasil berburu bahkan peliharaan seperti babi, anjingng, ikan
asar, ikan segar, kus-kus, berupa daging dan masih hidup”),
2. Kebutuhan papan; (kayu/papan, tali, kayu
papan/kayu buah sebagai bahan membuat rumah/honai
dan lesoma (ouma) dan
3. Kebutuhan sandang; biasanya kebutuhan yang bisa
digunakan sebagai pakaian antara lain (holim/koteka, yokal/rumbai wanita,
noken/tas dan sejenisnya.
Sampai seperti era 5.0 ini kalau
sistem pasar di Wamena kenapa mama-mama selalu memili berjualan di bawa (di
tanah). Dan ini dipandang jijik atau gimana. Jijik bukan kotor atau bauh, tidak
mungkin yang demikian dijual karena yang jualan adalah manusia yang punya hati,
yang punya rasa, yang tau bedahkan layak dikonsumsi dan tidak. Setau saya, jika
sayuran atau ubi kalo laju dan kering, mama-mama biasanya buang dan langsung
pulang “menarik ini”. Paling lama 4-6 hari tinggal di kota dan mereka
menumpang. Bila jualan belum laku dan bisa bertahan lama seperti kelapa hutan
kering, rokok kering, peangkat kebudayaan itu bisa bertahan lama.
Menurut saya, beberapa media dan
artis dari luar Papua kunjungan ke sanah, sempat ada isu ini yang pamer di medsos, sebenarnya maklumi karena
baru lihat dan aneh, karena dari tempat tinggal yang sistem pasar cara jualan
si penjualan yang datang jualan dari tempat yang jauh ke kota. Sangatlah bedah…
terus kepala daerah orang Papua baru kenapa tidak memfasilitasi? Tapi kenapa
mama-mama tetap memili berjualan di bawah?
Alasannya :
SATU. Yang menjual bahan-bahan pangan khususnya mama-mama, mereka rata-rata bukan yang tinggal menetap sebagai pelaku pasar yang tinggal di lokasih (pasar). Jadi tidak penting untuk mereka, mereka adalah mama-mama yang tinggal diluar pusat kota, misalkan di pasar Misi, sebagian yang jualan mama-mama dari Kurima, Hitigima dan sekitarya. Begitu juga di pasar Sinakma, yang jualan di sanah, walau pun sudah ada tempat jualan bentuk rumah, tetap mama-mama yang sebagian dari Welesi Napua dan sekitarnya yang bukan tinggal menetap di Sinakma atau pelaku pasar. Mereka tetap memili berjualan di bawah (di tanah/di lantai). Begitu juga dari sudut kota wamena yang lain seperti di pasar Baru, Pasar Lama dll.
DUA. Transisi yang berkepanjangan dari budaya pasar tradisional. Cara jualannya di bawah atau di tanah, tidak menetab (seharian) yang dimaksud pasar mingguan. Dan berdasarkan pasar tradisional tersebut, pasar bukan tempat menetap melainkan bertemu karena membeli atau menjual yang dibutuhkan, habis itu pulang.
TIGA. Pandangan medsos kalau jualan dibawa kesannya terlalu merendahkan dan menganggap terlalu terbelakang. Tapi tdak melihat penyebab mama-mama kenapa berjualan di bawah.
EMPAT. Mama-mama akan beruntung, karena suatu hari jika tubuh bertemu tanah (entah di bakar atau dikubur) saat meninggal. Mereka tidak menjadi orang asing di kehidupan baru bagi tubuh mereka di tanah (asing dengan tanah), pasti diterima dengan baik oleh tanah karena selain beraktivitas bertani di atas tanah. Jualalan hasil bertani pun masih mau duduk diatas tanah.
Post a Comment for "Pasar (cara mama-mama jualan di Wamena)"