Imelda

https://id.pinterest.co

Suatu desa namanya Desa Nolokla, sa bertengga dengan rumah Imelda, nama panggilannya Imel, sungguh anak yang manis, tulus dan polos sekali dalam bersosialnya. Imel masih belajar di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) saat kakak sepupunya kami seangkatan di bangku Sekolah Menegah Pertama (SMP).
Ada hal yang pernah terja di luar nalar sa adalah, kenapa anak manis itu cepat meninggal yah? sa tra tau penyebab meninggalnya, tapi sa ikuti sampai acara penghiburan di rumahnya dan memang kejadian itu tidak pernah diduga juga pada keluarga Imel. Tapi isu-isu yang sudah menjadi mendara daging di kalangan masyarakat bahwasanya, "karena Tuhan lebih sayang" 
emangnya kalau Tuhan sayang kepada seseorang yang baik, itu harus cepat diambil (meninggal) dunia dari yang lain begitu?  

Kalau mengganggap dunia penu dengan penderitaan! apa pun jenis penderitaan nya....,Tapi pada hakikatnya semua manusia sudah beradaptasi dengan dunia yang penuh penderitaan sejak lahir bukan? katanya itu dosa turunan dari moyang kita!

Sa tetangga paling dekat, rumah tinggal kami dipisahkan dengan jalan setapak, yang bisanya kami lalui untuk pergi sekolah lewat jalan bekang rumah, karena adik kami seumuran dengan Imel, bahkan ada kelas tambahan di gereja mereka sering belajar bersama sore hari (senin-kamis), kadang kalau pulang dari sekolah mereka dua barengan yang dulua jemput diantara kedua rumah karena memang rumah tetanggaan. 

Manusia merangkai sebuah konsep yang sifatnya dokmatis tetang kematian dan kehidupan, biar ada pengalaman individu lain tentang kematian (mati suri), tapi itu khan pengalaman pribadi, entah khayalan atau halusinasi bahkan wahyu pribadi. Tapi menggiring manusia lain untuk mempercayainya seola-olah macam benar begitu. Pada hal belum tentu, "sederhannya" kedua mata yang melekat pada satu kepala saja belum tentu akurat untuk melihat dua benda dalam satu waktu! Atau menarik dan menghembus nafas saja durasinya tidak sama itu? terus mau percaya yang "katanya" dari orang lain? Dalam hal ini harus menjadi Thomas sejati, bukan sekedar melihat dulu baru percaya, melainkan merasakan dulu baru percaya. Lebih bagus lagi mengalaminya!

Terlepas dari semua hal tentang teka-teki, yang menjadi pelengkap selama napas (roh) masih menyatu dengan jiwa, itu sah-sah saja. 
Tapi persoalannya, apakah Tuhan para orang percaya begitu rasis yah? Dia mengistirahatkan orang-orang baiki dahulu, jika itu sebagai pelajaran hidup, namun apakah yang hidup setelah ada pelajaran itu menjadi lebih baik seperti orang baik yang mendahului itu?

Setiap dalam perpisahan, dengan berbagai alasan "usia, kecelakaan, penyakit, bunu diri dll" dari berbagai motif yang berpariasi jalan keterpisahannya adalah kemisterian abadi yang tidak bisa diketahui lewat cara lain selain kematian itu sendiri dan tidak bisa lewata siapa pun selain harus dialami oleh individu masing-masing. 

Kalau semua hal adalah tentang kreativitas manusia, yang merupakan dorongan dari dalam dirinya yang kaitannya dengan "sebab-akibat" 
Percaya atau tidak percaya tentang sebuah kemisterian yang tampak abu-abu itu! Tentang kematangan dan kemahiran dari sebuah kreativitas dalam perspetif maju ke depan (ke pintu kematian) adalah ketidak sadaran, apa bila jawaban atas mereka yang sudah meninggal adalah dalam kondisi ketidak sadaran, bahkan mereka tidak bisa menerjemahkan detik-detik perubahan itu, tapi mereka juga tidak menginginkan kematian itu menjemput, seperti halnya kita yang masih hidup, juga yang penakut. Mungkin ada yang tidak takut memang, seperti para elit religi, mistikus dan sejenisnya. Namun itu karena doktin teologi yang menjembataniya.

Bahkan kalau bisa rasakan, sebagai validasinya bisa ingat-ingat buat yang masih hidup, saat-saat menyelang perpisahan (kematian) itu tiba "apa yang terjadi & kemana atau menjadi apa kelaknya", plis jangan lupa! ini kunci jawaban!....
Dalam ketidak sadaran, ketika mengurangi porsi/aktivitas atas diri kita, seperti "bernafas, berfikir, mendengarkan, merasakan" semacam meditasi dan lain-lain, setipis itu saat alamnya alam bawa sadar dalam kehidupannya. Memasuki atau menyebrangi sebuah kehidupan lain, atau alam yang berbeda, kita musti menyesuaikan protokol yang berlaku di sanah. Perbatasan antara Bernyawa & Tidak Bernyawa, dan yang berbicara itu Roh, "buka Roh fersi Alkitab/Alqur an/Kitab lain" sebab urusan ini, urusan dengan "bertualang tanpa pemandu" tapi tentu saja di alam yang sama, bisa juga berbeda dengan medan pengembaraan. 

Namun demikian, itu petualang pribadi yang memang tidak bisa menjadi ukuran mutlak, tapi turun  kedalam batin yang terbungkam dan haknya difungsihkan untuk bercakap-cakap dengan kita secara utuh, berdialok dan menjemput kegelisaan batin yang hakiki, yang di ufuk "ada dan tiada" atas intuitif manusia di ufuk fana. 

9/24/24

Post a Comment for "Imelda"