Cinta Beda Agama
![]() |
@quora |
Sialnya aku adalah generasi akhir Gen_M dan awal Gen_Z, jadi biasa hp masih ditangan. Hari ini adalah hari pertama di Jakarta Selatan, setelah sebulan berlalu, aku merindukan udara sejuk. Memang tempat yang aku tinggali adalah termasuk yang ramah lingkungan "bisa dikatakan begitu" jauh dari aktivitas umum seperti kantor, sekolah, transportasi umum dan sejenisnya. Tapi versi kepentingan publik bedah cerita jika versi kepentingan publik seperti pengaru iklim, termasuk udara, hujan angin dll yang merupakan konsumsi bersama dan tidak ada hak pribadi seperti lingkungan ini yang dibatasi pagar...
Tidak ada cerita baru memang hari ini, tapi sejak pagi dan siang, sudah kenyang bahas soal "cinta beda agama" dengan dua orang yang berbeda (1 teman angkatan dan satunya lagi adik kelas). Btw sebelum hari ini, 4 Minggu lamanya berhenti sejenak kegiatan baca buku dan menulis di blogspot, selain menulis puisi dan diary setiap hariku. Tapi begitulah seperti merinduhkan angin segar di Bogor, sedikit usaha yang ku lakukan adalah menarik bangku keluar, lepaskan baju sembari rasahkan sedikit kesejukan dan mengamati gerak-gerik daun-daun dari beberapa tanaman buah yang sedang ku tritment untuk berbuah ada durian, mangga, sirsak, sawo, jambu air dan belimbing. Termasuk taman hias yang isinya ada Anthurium, rumput gajah dll.
Spotify aktif berjalan dengan album Aida Espilona, tidak ngerti bahasa Spanyol, tapi enak "keun" musiknya terus sambung dengan The Curs Sisters, kalau yang satu ini pake Inggris jadi bisa dengarin tipis-tipis.
Ada rasa ketidak adilan batin selain kangen suasana sejuk adalah melihat tumbuhan², dari pagi belum sirami karenah tanah masih lembab. Sore yang hampir malam, waktu sudah melewati angka 19.00 kaki melangkah meninggalkan tujuan utama, yang tadinya hanya mau duduk manis. Tetap akan siram tapi itu nomor dua, aslihnya.
Ulurkan selang lalu mulai sirami taman tempat nongkrong sampai samping (kiri-kanan) depan sampai luar pagar rumah yang semuanya bagian dari rutinitas (pagi-sore ku). Sedikit dengan rasa kasih sayang, sambil ajak bicara biar tak ngamuk mereka qiqiqiqi, maaf yah tanaman,.!
Pas lagi sejenak berhenti ada notif seorang kakak kelas mengikuti di Instagram, segerah buka ig, follback dan sampaikan salam melalui balas ceritanya.
Lanjut saling lepas rindu yang lama tak jumpa selepas lulus dari sekolah tak sadari setelah 9 tahun lamanya tak jumpa, sei-helo pun tidak pernah. Banyak hal yang tidak sempat cerita, tapi sudah terangkum 9 tahun dalam beberapa menit (sejam lebih) tapi simpatin lanjut lagi bahas soal cinta beda agama. Karena ternyata ada hubungan diantara cerita, sebab masih hangat isu ini dari pagi tadi....
Saking lamanya sembilan tahun, tak tahu kalau kakak kelasku bagian dari masalahku seharian, tentang cinta beda agama ...
Pertama aku diskusih, terkait sebuah kerinduan yang tadinya emang cinta pertama kebetulan cinta beda agama, wanita agama seberang lebih terbuka dan ga neko-neko, ku merasakan juga begitu walau punya cerita pernah suka seorang agama seberang juga (sama dengan temanku)
Diskusi itu berakhir dengan kata "gimana orgnya, kembali ke pilihan masing" tapi tidak berhenti disitu, lebih lanjut mengapa kebenaran presfektif akan selalu berpihak pada keputusan yang menggantung begitu saja?
Kenapa manusia selalu manja dengan pemikiran menurut kebenaran prespektif? Dan hukum rimba akan berpihak kepada yang berpengalaman menurut presfektif itu?
Presfektif yah pendapat pribadi, bukan kesepakatan bersama sebagai keputusan yang mendekati kebenaran (kebenaran yang tak berpihak kepada siapa pun). Kebenaran yang tak menguntungkan atau merugikan pihak tertentu.
Lalu diskusi dengan adik kelas, kemungkinan akan berlanjut, hanya kami beri waktu, masih akan lanjut karena adik kelasku sedang hadapi uas (ujian akhir semester). Tapi dari sisi yang sudah pernah mengalami cintah beda agama..., maksudnya bukan buka aib, ini diskusi normal dgn kepala dingin serta terbuka (open mindset) dan beberapa point pentingnya adalah kembali kepada tujuan pacaran, satu pihak memang pengen serius (nikah) kelahknya namun dalam berdinamika terlepas dari berbagai faktor lingkungan, khususnya diantara individu mengalami degradasi (pesimis) dengan sebuah hubungan. Hampir 99% putus atau gagal jadi nikah kalau menurut data medsos.
Kebanyakan yang berpacaran hampir mayoritas adalah yang para garis keras pendidikan dan keluarga nya penganut agama tertentu atau satu dari keduanya. Sisah nya ada yang karena jarak, ada yang karena coba-coba saja dan masih buslit alasan lainnya. Yang berpotensi berakhir di tengah jalan alias berpisah.
Yang paham agama nya, pasti punya pegangan ayat suci sebagai senjata untuk soal cinta bedah agama. Dan menurut adik kelas kembali ke standar agama masing², kecuali kalau benar²encintai, yah pasti yang satu harus ngala.
Apakah kedua pihak yang menggunakan ayat suci sebagai senjata untuk putuskan sebuah hubungan adalah tak bertanggung jawab? Karena dari keluarga garis keras tau dong, aturan mainnya resiko dari cinta beda agama! Atau sebatas coba²? Termasuk karena penasaran. Hem Hem...
Siapa tau, mereka konsumsi informasi menurut kitab suci, jadi tidak bisa berfikir mandiri! Efeknya tak tangkas dgn 101 alasan dan hambatan dalam berbagai dinamika cinta mereka.
Lanjut lagi sama kakak kelas, ini keren saya terharu bacanya. Kalau beliau dalam setahun bisa 3x lebaran menurut agama keluarga besar ada tiga agama dan semua rukun, saling dukung tentram. Tapi tentu semua hasil dari kesepakatan dan komitmen kedua pihak sebagai pelaku cinta beda agama ini, satu yang ngala tentunya dari kedua cinta yang bersatu dan menjalani hidup tak sekedar normal tapi harmonis, yang pasti dan percaya bahwa keyakinannya akan Tuhan itu memang hakiki.
Kalau cinta-cintaan beda agama, cita tidak ada hubungan dengan keyakinan. Suami istri atau yang kembar sekalipun berlabel agama A, yah keyakinan tidak ada jaminan "sama" karena itu hubungan private...
Kenapa menjalin hubungan harus agama yang sama yah?
Keyakinan itu kalau menurut konsitusi sebagai hak, pada agama yang diakui negara. Bagaimana kalau soal beriman? Itu pilihan masing-masing bukan?, bahkan tak ada hubungan soal suami istri sekali pun harusnya kalau berkaitan keyakinan.
Motif rasis terhadap iman seseorang dibatalkan oleh dalil keagamaan dan itu sebuah pemaksaan seseorang termasuk sangsi sosial yang berlaku seperti negara yang kaya keberagaman.
Memang kenapa, suami istri bedah keyakinan? Anak nya toh bisa menentukan pilihannya sendiri, kenapa harus diwariskan kepercayaan orang tuanya?
Tapi next diskusi lanjut dengan adik kelas atau ketemu kakak kelas, baharui lagi tulisan ini. Sedang diagendakan jumpa, pasti sa angkat kembali #note
Kamis, 12 12 24
Post a Comment for "Cinta Beda Agama"